Sambungan berita tentang G 30 S PKI ............... berisi dokomen dan pera pihak asing di kejadian ini......................
Menjelang G-30-S/PKI ’65 ”Subversi” Palmer (1)
Oleh Alex Dinuth
Tanggal 23 Mei 1965. Hari ulang tahun Partai Komunis Indonesia (PKI) ke-45 yang dirayakan secara besar-besaran di Jakarta, pada hakikatnya merupakan suatu pameran kekuatan. Di situ Ketua CC PKI, DN Aidit menyampaikan komando kepada seluruh jajaran partainya agar meningkatkan situasi revolusioner di segala bidang. Komando tersebut diwujudkan dalam bentuk rekayasa kontradiksi di bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial budaya guna terciptanya situasi krisis revolusioner.
Maka munculah aksi-aksi massa yang mengobarkan slogan dan seruan yang disesuaikan dengan tuntutan PKI. Seruan itu berbunyi: ”Ganyang 7 (tujuh) setan desa”.”Ganyang 3 (tiga) setan kota”. ”Ganyang KABIR (kapitalis birokrat)”. ”Bentuk kabinet gotong-royong berporoskan NASAKOM sekarang juga”. ”Bentuk Angkatan ke-5”. ”Adakan Pemilu II”. ”Lak-sanakan MANIPOL (Manifesto Politik) dan DEKON (Deklarasi Ekonomi) secara konsekuen”. ”Intensifkan konfrontasi dengan Malaysia dan bantu Vietnam Utara”. ”Ganyang kebudayaan ”ngak-ngik-ngok” (baca: kebudayaan Barat).
Rangkaian kejadian pada periode menjelang peristiwa G-30-S/PKI disebut sebagai ”tahap ofensif revolusioner” yang penuh dengan kegiatan dan upaya untuk memperoleh kewenangan politis dan psikologis yang strategik.
Untuk maksud itu media komunikasi massa dikuasai dengan menduduki posisi-posisi kunci, antara lain di Kantor Berita Antara, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Radio Republik Indonesia (RRI).
PKI juga menggerakkan aksi-aksi massa mengganyang KABIR, tuan-tuan tanah serta imperialisme AS. Sebagai contoh, aksi-aksi sepihak PKI di daerah Kediri (peristiwa Kanigoro), peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara, penyerbuan terhadap Gubernur di Surabaya. Aksi revolusioner di berbagai kota juga tidak kalah hebatnya, seperti aksi-aksi pengganyangan terhadap BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme), Manikebu (Manifesto Kebudayaan), Partai Murba, dan sebagainya.
Komisaris Politik
Konfrontasi terhadap Malaysia dimanfaatkan oleh PKI dengan tuntutan dipersenjatainya buruh dan tani revolusioner, yang maksudnya mempersenjatai SOBSI dan BTI. Kepada pimpinan TNI-AD, PKI juga menuntut pembentukan komisaris politik di tiap-tiap angkatan sesuai gagasan ”Nasakomisasi”. Tuntutan-tuntutan tersebut secara tegas ditolak oleh Menteri Panglima AD, Letjen A. Yani. PKI maju dengan tuntutan lain, yaitu gagasan pembentukan Angkatan ke-5 (didukung Men/Pangau Omar Dhani), tetapi sekali lagi ditolak mentah-mentah oleh Panglima AD.
Dalam pada itu perang dingin tengah berkecamuk, dan Indonesia pun menjadi ajang perebutan pengaruh oleh kekuatan komunis Moskow dan komunis Beijing. Perlu dicatat bahwa dampak keretakan hubungan antara RRC dan Uni Soviet telah menempatkan PKI untuk mengambil jalan tengah, namun kemudian PKI segera condong ke Beijing.
Situasi dan kondisi rawan Tanah Air pada waktu itu, bukan tidak mungkin bisa dimanfaatkan oleh intelijen asing, dan memang terbukti ada. Contoh konkret yang menjadi fokus tulisan ini adalah keberhasilan kerja sama dinas intelijen Cekoslowakia dan Uni Soviet (KGB) yang mampu mempengaruhi pendapat umum dan pemerintah Indonesia (termasuk Bung Karno) dengan menyebarkan benih kebencian terhadap AS hingga ke taraf yang histeris, bahkan mengancam hubungan diplomatik Indonesia-AS.
Semua ini merupakan hasil olahan departemen ”D” dinas intelijen Cekoslowakia dengan arahan KGB. Modal mereka hanya berupa peralatan sederhana dan beberapa agen penyalur (berita bohong) terutama Duta Besar RI kesayangan Menlu Subandrio, serta para wartawan yang sudah terbina. Kedua dinas intelijen berhasil menggunakan jalur-jalur anonim untuk mengirim dokumen palsu serta informasi bohong kepada tokoh-tokoh politik, organisasi massa dan redaktur koran-koran di Indonesia maupun negara lain.
Kegiatan Palmer
Pada tahun 1964 muncul organisasi/gerakan ”Panitia Aksi Pemboikotan Film-film Amerika” (Action Committee for the Boycott of United States Films), yang mencap film-film AS sebagai penyebab rusaknya moral dan semangat revolusioner bangsa Indonesia. Segera departemen ”D” memanfaatkan aksi tersebut dengan memilih sasaran tokoh, William (Bill) Palmer, untuk ”dimainkan” sebagai agen CIA imperialis Amerika yang paling utama di Indonesia. Bill Palmer adalah direktur asosiasi importir film Amerika (American Motion Picture Association in Indonesia-AMPAI).
Tiba-tiba muncul tulisan khusus di koran Ceylon Tribune (12 September 1964) yang membongkar kegiatan subversif Palmer. Ia bahkan dinyatakan akan segera ke Malaysia untuk melancarkan kegiatan subversif terhadap Indonesia dari sana. Artikel tersebut dikutip surat kabar Singapura (30 September 1964) yang diterbitkan oleh Barisan Sosialis. Ini menarik perhatian masyarakat luas di Indonesia dan Malaysia. Apalagi dengan berita kedatangan misi militer AS di Kuala Lumpur (11 Nopember 1964) yang oleh harian Warta Bhakti disebut AS terang-terangan memihak ”negara boneka” yang dilahirkan oleh imperialis Inggris !
Bola panas yang dimainkan oleh dinas intel Cekoslowakia dan KGB terus bergulir. Kehadiran dan kegiatan kantor penerangan AS (USIS) di Indonesia diprotes dan perpustakaan USIS di Jakarta maupun Surabaya dihancurkan.
Di tengah berlangsungnya operasi intelijen di atas tibalah di Jakarta Jenderal Agayant, kepala departemen pengelabuan KGB untuk mengevaluasi langsung hasil yang dicapai operasi Palmer. Dia merasa puas karena hubungan AS-RI telah mencapai titik yang sangat kritis.
Praha pun siap. Isu lain yang dikembangkan dari keberhasilan operasi Palmer antara lain berita/isu bohong sebagai berikut: Pemerintah Malaysia menuduh Indonesia dan kaum ekstremis Malaysia berkomplot untuk melakukan kudeta. Bill Palmer telah mengungkapkan gerakan bawah tanah Indonesia kepada Malaysia. Bill Palmer terlibat dalam kegiatan subversif anti-Soekarno di Jawa dan Sumatera. CIA dan Palmer terlibat dalam komplotan untuk membunuh Soekarno, Subandrio dan A. Yani. Dalam pertemuan tahunan para panglima tentara (Rapim ABRI) seluruh Indonesia pada tanggal 28 Mei 1965, Bung Karno menandaskan bahwa kaum imperialis berusaha membunuhnya.
Di pihak lain, DN Aidit mengingatkan Syam Kamaruzaman (April 1965) tentang situasi politik di Tanah Air sudah semakin gawat. Aidit menganggap bahwa fungsi, peranan, doktrin TNI AD akan menghambat PKI merealisasikan tujuan perjuangannya. Di SUAD (Staf Umum AD) pasti ada bagian yang mengendalikan politik. Hal ini tentu dihubungkan dengan ”Dewan Jenderal” yang membahas jabatan, pangkat, karier para perwira tinggi. Istilah ”Dewan Jenderal”, pertama kali diintroduksi oleh PKI, dan para jenderal yang dianggap sebagai tokoh-tokoh potensial penghambat program PKI ialah Jenderal A.H. Nasution, Letjen A. Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Mayjen M.T.Harjono, Brigjen Sutojo, Brigjen D.I. Panjaitan dan Brigjen Ahmad Sukendro.