Ini lanjutan ulasan dari Koran Sinar Harapan tentang keterlibatan pihak Asing dalam Peristiwa G 30 S PKI.
Menjelang G-30-S/PKI ’65: Dokumen Gilchrist (2–Habis)
Oleh ALEX DINUTH
Biro khusus (PKI) ditugaskan oleh Aidit untuk menyebarluaskan sinyalemen tentang ”Dewan Jenderal” agar tercipta opini ia sesuatu yang membahayakan negara, dan akhirnya Angkatan Darat terpencilkan. Isu-isu yang dimainkan PKI ialah: Ada jenderal-jenderal yang tidak loyal terhadap Pemimpin Besar Revolusi (PBR), mereka menyatukan diri dalam ”Dewan Jenderal” dengan tugas menilai kebijaksanaan PBR, ”Dewan Jenderal” akan mengadakan kudeta.
Sebagai kelanjutan operasi Palmer muncul Dokumen Gilchrist. Namun mantan Deputi BPI, Kartono Kadri bertanya, ”Dokumen Gilchrist” yang mana?” Dia bertanya karena memang ada ”Dokumen Gilchrist” lain setebal kira-kira 70 halaman, ditandatangani Dubes Inggris Gilchrist. Isinya a.l.: hubungan AD dan AURI, laporan konsulat Inggris di Medan tentang perasaan anti-Jawa yang mudah dimainkan agar meledak, tentang Soekarno sebagai seekor ”tikus” yang terpojok, tulisan tangan laporan terakhir Gilchrist ketika Kedutaan Besar Inggris di Jakarta menghadapi demonstrasi massa besar-besaran.
Kartono menuturkan dokumen dibaca oleh dua Wakil PM Djuanda dan Leimena. Reaksi mereka berbeda. Djuanda ta berkomentar, tetapi Leimena berkata, ”Kalau ini sampai dibaca oleh Banteng (baca, Bung Karno) dia akan marah besar.” Memang akhirnya Bung Karno mengetahuinya dan marah besar.
Mengenai ”Dokumen Gilchrist” yang satunya lagi, yang sejak kemunculannya membikin heboh dan kontroversial, mempunyai kisah tersendiri. Dokumen itu dikirim lewat pos resmi ke alamat Menlu Subandrio, Jl. Imam Bonjol no. 16 Jakarta. Tanpa dibaca dulu isinya ia dikirim langsung ke BPI cq. Kartono Kadri. Secara cepat BPI menyimpulkan: Dokumen tersebut tanpa tanda tangan resmi, kertas dan formatnya identik dengan kertas kedutaan (BPI mempunyai contoh berbagai kertas kedutaan), bahasa yang digunakan bukan bahasa Inggris diplomatik yang lazim.
Karena masih diragukan maka melalui rapat Joint Intelligence Estimate Group (JIEG), diputuskan bahwa sebelum melaporkan resmi kepada Kepala BPI Subandrio, dokumen Gilchrist tersebut dikirim lebih dulu ke laboratorium Mabes Kepolisian (Mabak) untuk diteliti. Perlu diketahui, sampai detik ini (tahun 2004) hasil laboratorium Mabak itu belum terungkap. Pada waktu itu Brigjen Pol. Sutarto sudah berada di BPI, tetapi bukan sebagai Kepala Staf karena dalam struktur organisasi itu tidak ada Kepala Staf. Ia sendiri menyebutkan dirinya sebagai perwira tinggi diperbantukan pada Wakil Perdana Menteri I (Subandrio), sedangkan semua Deputi punya akses langsung ke Kepala BPI.
Keheranan Kartono Kadri
Muncul perkembangan menarik. Kartono Kadri dan kawan-kawan (umumnya berpangkat letnan kolonel dan kolonel) bersepakat untuk melaporkan proses dokumen Gilchrist tersebut kepada Sutarto sebagai orang yang dianggap senior. Namun selang beberapa lama BPI terdadak (surprise) sekaligus bertanya, karena dokumen yang dimaksud telah muncul di Kairo dan dinyatakan sebagai asli. Waktu itu Konferensi Asia Afrika II di Aljazair gagal, Bung Karno dan Subandrio berada di Kairo.
Yang mengherankan lagi, di pengadilan peristiwa G 30S/PKI pun dokumen itu (katanya dari Gilchrist) sempat ditandatangani Soebandrio dan Sutarto dengan pernyataan bahwa itu memang asli. Timbul pertayaan, apakah Sutarto langsung mengambilnya dari laboratorium Polri (Mabak), lalu membisikan dan menyerahkan dokumen tersebut kepada Subandrio?
Isi ”dokumen” terdiri dari dua bagian. Bagian pertama menyebut-nyebut tentang rencana serangan Inggris dan Amerika ke Indonesia tidak dibatalkan. Bagian lain menyebutkan tentang adanya ”kawan-kawan Angkatan Darat di Indonesia” (our local army friends) yang akan membantu atau menunjang rencana tersebut.
Terjemahan konsep surat Dubes Inggris, Gilchrist itu adalah sebagai berikut:
Draft telegram kepada Kementrian Luar Negeri
Top Secret
Kepada Tuan Harold Caccia
24 Maret, 1965
Saya telah mendiskusikan dengan Duta Besar Amerika tentang masalah yang Saudara kemukakan No. 67786/65. Duta Besar Amerika pada prinsipnya telah menyetujui tentang posisi kita, tetapi meminta waktu untuk menyelidiki segi-segi tertentu dari masalah tersebut. Atas pertanyaan saya mengenai pengaruh yang mungkin ditimbulkan oleh kunjungan Bunker ke Jakarta, Duta Besar Amerika menyatakan bahwa ia tidak melihat adanya harapan untuk memperbaiki situasi dan karenanya tidak ada alasan untuk mengubah rencana-rencana kita bersama.
Sebaliknya kunjungan utusan pribadi Presiden Amerika Serikat tersebut akan memberi waktu lebih banyak untuk mempersiapkan gerakan sampai pada perincian yang sekecil-kecilnya.
Duta Besar merasa bahwa langkah lebih jauh adalah perlu untuk membawa upaya-upaya bersama ke dalam suatu persetujuan yang lebih erat. Dalam hubungan ini ia mengatakan bahwa sangat berguna untuk memberikan kesan kepada ”our local army friends” (kawan-kawan dari Angkatan Darat di sini) bahwa ketelitian, disiplin, dan koordinasi dari segala tindakan sangat penting untuk berhasilnya tujuan. Saya berjanji untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Saya akan melaporkan pandangan saya secara pribadi pada saatnya.
Gilchrist
Soekarno Tanyakan ke Yani
Desas-desus adanya ”Dewan Jenderal” yang merencanakan perebutan kekuasaan dan isu akan adanya serangan dari Inggris yang dibantu Amerika Serikat semakin memanas setelah munculnya ”Dokumen Gilchrist”.
Kampanye anti-Amerika dan Inggris memang sudah sangat intensif dilakukan sejak berdirinya negara Malaysia yang meliputi Malaya, Singapura, dan Sabah, Serawak di Kalimantan Utara.
PKI memanfaatkan isu ”Dokumen Gilchrist” untuk menuding ”Dewan Jenderal” (baca TNI AD) yang bermaksud jahat terhadap pemerintah dan Presiden Soekarno. Sedangkan Menlu Subandrio menandaskan di Kairo bahwa Inggris akan melancarkan serangan ke Indonesia setelah Konferensi Asia Afrika (AA)-II di Aljazair (tertunda). Menurutnya serangan tersebut akan dilancarkan dari Malaysia, Singapura (pangkalan militer Inggris) dan dari daerah-daerah Kalimantan Utara yang berada di bawah kendali Inggris.
Menyusul ditemukannya ”Dokumen Gilchrist”, Presiden Soekarno langsung bertanya kepada Jenderal Ahmad Yani, ”Apakah dalam Angkatanmu masih ada orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Inggris dan Amerika Serikat?” Yani menjawab, ”Tidak, Pak, yang ada ialah yang saya beri tugas khusus, yaitu Brigjen Sukendro supaya selalu mencari hubungan dengan AS dan Mayjen TNI S. Parman supaya berhubungan dengan Inggris untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang selanjutnya dilaporkan kepada saya”.
Presiden Soekarno bertanya lagi, ”Bagaimana desas-desus tentang adanya Dewan Jenderal yang menilai kebijaksanan saya?” Dijawab, ”Tidak benar. Saya memang satu kali mengumpulkan para perwira senior atas permintaan mereka untuk bertukar pikiran mengenai masalah-masalah yang dihadapi revolusi kita.
Saya beri kesempatan secara luas kepada mereka untuk mengemukakan pendapatnya (stoom uitblazen). Ada pun yang ada ialah dewan yang menyusun promosi perwira-perwira senior.”
Dari tulisan singkat ini disimpulkan bahwa operasi Palmer sangat berhasil mempengaruhi pendapat umum dan pemerintah Indonesia (termasuk Presiden Soekarno dan Menlu Subandrio) yang menunggangi gelombang perasaan anti-AS. Menyusul operasi ”Dokumen Gilchrist”, merupakan suatu strategi dan seni yang perlu didalami sebagai suatu studi intelijen.
Tetapi bangkitnya kemarahan massa secara histeris terhadap AS, CIA dan Inggris telah melebihi takaran yang diharapkan Uni Soviet. Dampak strategisnya merugikan komunis Moskow, karena PKI dan komunis RRC menganggap kemenangan politis provokasi anti-AS dan antek-anteknya, sebagai karya mereka. Sebelum peristiwa G-30 S/PKI, PKI telah bergandeng tangan erat dengan Beijing!